Jumat, 29 April 2011

Hukum Merayakan Hari Ibu

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kebiasaan kami, pada setiap tahun merayakan hari khusus yang disebut dengan istilah hari ibu, yaitu pada tanggal 21 Maret. Pada hari itu banyak orang yang merayakannya. Apakah ini halal atau haram. Dan apakah kita harus pula merayakannya dan memberikan hadiah-hadiah? Jawaban Semua perayaan yang bertentangan dengan hari raya yang disyari'atkan adalah bid'ah dan tidak pernah dikenal pada masa para salafus shalih. Bisa jadi perayaan itu bermula dari non muslim, jika demikian, maka di samping itu bid'ah, juga berarti tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah سبحانه و تعالى. Hari raya-hari raya yang disyari'atkan telah diketahui oleh kaurn muslimin, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha serta hari raya mingguan (hari Jum'at). Selain yang tiga ini tidak ada hari raya lain dalam Islam. Semua hari raya selain itu ditolak kepada pelakunya dan bathil dalam hukum syariat Allah سبحانه و تعالى berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم "Artinya : Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam  Islam)  yang  tidak  terdapat  (tuntunan)  padanya,   maka ia tertolak."[1] Yakni ditolak dan tidak diterima di sisi Allah. Dalam lafazh lainnya disebutkan, "Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak."[2] Karena itu, maka tidak boleh merayakan hari yang disebutkan oleh penanya, yaitu yang disebutkan sebagai hari ibu, dan tidak boleh juga mengadakan sesuatu yang menunjukkan simbol perayaannya, seperti; menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan, memberikan hadiah-hadiah dan sebagainya. Hendaknya setiap muslim merasa mulia dan bangga dengan agamanya serta merasa cukup dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya dalam agama yang lurus ini dan telah diridhai Allah untuk para hambahNya. Maka hendaknya tidak menambahi dan tidak mengurangi. Kemudian dari itu, hendaknya setiap muslim tidak menjadi pengekor yang menirukan setiap ajakan, bahkan seharusnya, dengan menjalankan syari'at Allah سبحانه و تعالى, pribadinya menjadi panutan yang ditiru, bukan yang meniru, sehingga menjadi suri teladan dan bukan penjiplak, karena alhamdulillah, syari'at Allah itu sungguh sempurna dari segala sisinya, sebagaimana firmanNya, "Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. " [Al-Ma'idah: 3] Seorang ibu lebih berhak untuk senantiasa dihormati sepanjang tahun, daripada hanya satu hari itu saja, bahkan seorang ibu mempunyai hak terhadap anak-anaknya untuk dijaga dan dihormati serta dita'ati selama bukan dalam kemaksiatan terhadap Allah سبحانه و تعالى, di setiap waktu dan tempat. Nur 'ala Ad-Darb, Maktabah Adh-Dhiya', hal. 34-35, Syaikh Ibnu Utsaimin.


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini Lc Penerbit Darul Haq]

Foote Note [1]. HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697). Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718). [2]. Al-Bukhari menganggapnya mu'allaq dalam Al-Buyu' dan Al-I'tisham. Imam Muslim menyambungnya dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).

Sumber: http://www.almanhaj.or.id

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar,saran atau kritik anda.. Tanpa ada unsur sara,porno dan lainnya yang bersifat KASAR atau KOTOR..
Jazakumullah...